Jumat, 19 November 2010

UNHAS




UNHAS JANGAN DI JUAL KODONG................................

Kapitalisasi pendidikan di Indonesia cenderung semakin menguat. Suara parau aktivis mahasiswa dan dosen yang tidak setuju kapitalisasi pendidikan tersebut nyaris semakin tak terdengar. Unhas yang konon dibangun atas nama dan untuk kemaslahatan rakyat 49 tahun yang lalu, kini mulai gencar mendengungkan kapitalisasi pendidikan. Apakah ini nikmat atau bencana, penghianatan atau pembaharuan, tuntutan reformasi ataukah hanya tuntutan nafsu dan obsesi memperkaya diri sendiri?
Pihak yang sangat bernafsu menjual Unhas dalam bingkai kapitalisasi pendidikan sangat patut dikontrol dan diberi masukan berupa kesadaran pentingnya berpihak kepada rakyat miskin, sehingga nafsunya bisa lebih terkendali. Tidakkah lebih bijak kita mempelajari terlebih dahulu manfaat dan mudarat kapitalisasi pendidikan?
Universitas dan institut di tanah jawa yang mulai melakukan kapitalisasi pendidikan atas nama otonomi kampus, cenderung makin menjauh dari rakyat miskin. Betapa tidak, mahasiswa yang mampu menjangkau universitas tersebut cenderung hanya mahasiswa yang berkantong tebal. SPP-nya tinggi dan sejumlah sumbangan lain harus dibebankan kepada orang tua. Bagi orang tua yang berkantong tebal, berapapun jumlahnya tidak menjadi masalah. Namun, bila orang tuanya berkantong pas-pasan maka hanya ada dua pilihan. Mengundurkan diri atau berupaya memindahkan anaknya ke universitas-universitas lain yang belum melakukan kapitalisasi pendidikan. Satu alasan yang cukup menyakitkan bagi orang tua yang berkantong pas-pasan, "kampus sudah otonom dan negara tidak mensubsidi universitas".
Universitas atau institut tersebut juga mulai menuai kritik yang cenderung berujung pada penolakan kapitalisasi pendidikan. Pertama, kapitalisasi cenderung sangat eksploitatif dan menjadi ancaman tercerabutnya nilai kebersamaan, semangat tolong-menolong terhadap sesama dan mahasiswa dijadikan sebagai sapi perah.
Kedua menciptakan kesejahteraan semu dan meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi. Dapat dimaknakan secara sederhana dosen dan karyawan gajinya meningkat serta akan memperoleh berbagai tunjangan dan fasilitas, namun mereka gelisah dan tidak nyaman karena gaji yang mereka peroleh tersebut adalah hasil "pemerasan". Mereka pun bekerja memburu' setoran bagai pekerja kasar, padahal mereka adalah ilmuwan dan orang terdidik.
Ketiga, kapitalisasi pendidikan sangat mengutamakan profit. Itulah sebabnya fasilitas kampus yang dibangun dengan uang rakyat harus dipersewakan dengan mahal kepada siapa saja yang akan menggunakan termasuk mahasiswa dan dosen. Bahkan, ilmu pengetahuan pun dianggap sebagai komoditi yang harga dan nilai nominalnya dapat ditentukan dengan harga pasar bebas. Hak cipta, paten, merk, dan hak intelektual lainnya merupakan dasar legitimasi untuk menjual ilmu pengetahuan sebagai komoditi. Pokoknya ilmu pengetahuan dijual berdasarkan prinsip dan doktrin kapitalis.
Alasan-alasan penolakan tersebut tidak hanya bersifat teoritis, tapi sudah mulai terasa di sejumlah universitas atau institut yang telah melakukan kapitalisasi pendidikan. Ada beberapa kasus yang dapat dijadikan sebagai contoh. Contoh yang aktual bagi civitas akademik Unhas yang sudah terasa bila akan meminjam gedung PKP.
Contoh lain, ketika akan memasuki gerbang Unhas, maka jalur yang dilalui hendak hanya satu. Ada jalur tradisional SPMB (bersubsidi), jalur non subsidi, jalur prestasi, dan jalur ekstensi (kelas sore). Program pasca sarjana pun sudah ada dua jalur: jalur reguler dan eksekutif. Menyebut eksekutif hawa kapitalisasinya pasti terasa dan kita pun pasti dapat menebak tidak ada rakyat kecil yang kuliah di program eksekutif tersebut.

Unhas Kampus Rakyat
Tokoh-tokoh yang mendirikan universitas Hasanuddin dikenal sebagai tokoh yang sangat dekat dan berpihak kepada rakyat kecil. Siapa yang tidak mengenal Bung Hatta dan Andi Pangeran Pettarani. Keduanya sangat dekat dengan rakyat. Andaikata mereka masih hidup dan diajukan pertanyaan kepada mereka, apakah setuju bila Unhas dijual atas nama otonomi kampus? Mungkin mereka akan menggeleng dan meneteskan air mata kepedihan isyarat mereka tidak menyetujui karena kapitalisasi pendidikan akan menjauhkan Unhas dari rakyat kecil.
Komitmen berpihak kepada rakyat kecil para tokoh yang mendirikan Unhas selayaknya menjadi sumber berbagai kebijakan yang akan diputuskan oleh para elit kampus yang saat ini kebetulan diberi amanah memimpin Unhas. Artinya, bila elit kampus ingin ikut-ikutan melakukan kapitalisasi dan menjual Unhas, karena Unhas saat ini bagai komoditi yang layak dijual, maka selayaknya lebih bijak dan menimbang-nimbang manfaat dan mudaratnya dari sisi kepentingan rakyat kecil.
Citra dan label Unhas sebagai kampus rakyat masihkah akan dipertahankan, ataukah akan dibiarkan sebagai masa lalu. Karena Unhas kini dan akan datang adalah kampus mewah, modern, bisa bersaing, dan sejajar dengan universitas ternama di sejumlah negara kapitalis. Sebutlah Oxford University, Michigan University, Berkeley University, dan berbagai universitas ternama di Eropa, Amerika, Australia, dan Kanada.
Mimpi dan harapan menjadikan Unhas sebagai universitas mewah, modern, terkenal, bisa bersaing dan sejajar dengan sejumlah universitas-universitas kapitalis di Eropa, Amerika, Australia, dan Kanada tidaklah salah dan berlebihan. Hanya saja tidakkah lebih bijak bila memahami keadaan sosial ekonomi, budaya, agama, dan filosofi bangsa kita.
Apakah tingkat sosial ekonomi masyarakat sudah sangat kondusif dan memungkinkan universitas melakukan kapitalisasi? Sosial ekonomi masyarakat di tanah Jawa mungkin sudah kondusif dan sejumlah universitasnya dapat melakukan kapitalisasi pendidikan. Namun, apakah sosial ekonomi masyarakat Indonesia Timur atau lebih khusus di Sulawesi Selatan sudah memungkinkan Unhas dikapitalisasi atau berjual berdasarkan tariff pasar bebas?
Ada kekhawatiran sejumlah pihak bila Unhas terburu-buru dikapitalisasi maka tidak menutup kemungkinan putra putri daerah Sulawesi Selatan hanya mampu menjangkau bibir kampus Unhas.
Kita pun juga sebenarnya bangga dan tidak menutup pintu bila saudara-saudara kita dari tanah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Irian, bahkan dari negara tetangga dan negara asing lainnya berkeinginan menimba ilmu di Universitas Hasanuddin. Hanya saja bila mereka lebih diistimewakan, apakah ini bukan bom waktu terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial. Dalam realitasnya kecemburuan sosial dapat menjadi bibit kekerasan. Jadi kalau Unhas mau dijual “kodong”, pikir-pikir juga implikasi sosialnya, jangan hanya pikir untung atau ekonominya.
Wallau alam bissawab .•
Makassar, 13 Septemer 2005
Dosen Universitas Hasanuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar